Nasihat yang Harus Menjadi Pelajaran


Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (TQS al-Nahl [16]: 90).

Seorang Muslim memiliki kepribadian yang khas dan unik. Ini terjadi karena seluruh perilakunya didasarkan pada perintah dan larangan syara’. Sekalipun terlihat buruk dan tidak menyenangkan, namun jika syara’ memerintahkannya, dia akan berusaha mengerjakannya sekuat kemampuan. Sebaliknya, meskipun terkesan baik dan mengandung manfaat, namun jika syara’ telah melarangnya, seorang Muslim akan meninggalkan dan menjauhinya.

Ayat di atas termasuk di antara ayat yang menyampaikan kepada manusia tentang perintah dan larangan yang harus dipatuhi.

Perkara yang Diperintahkan

Allah SWT berfirman: Innal-Lâh ya’muru bi al-‘adl wa al-ihsân wa îtâi dzî al-qurbâ (sesungguhnya Allah menyuruh [kamu] berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat). Dalam ayat ini digunakan kata perintah yang sharîh (jelas), yakni kata amara (Dia memerintahkan). Ada tiga perkara yang diperintahkan.

Pertama, al-‘adl. Secara bahasa, kata al-‘adl berarti al-inshâf (keadilan). Demikian penjelasan al-Thabari, al-Baghawi, dll. Menurut Abdurrahman al-Sa’di, adil yang diperintahkan Allah meliputi adil dalam memenuhi hak-Nya dan hak semua hamba-Nya. Adil adalah menunaikan hak mereka secara sempurna. Bagi seorang hamba, itu dijalankan dengan mengerjakan apa yang diwajibkan Allah atas dirinya, baik terhadap hak harta, badan, maupun kendaraannya, selama itu memang menjadi hak-Nya dan hak hamba-Nya. Dalam bermuamalah, seorang makhluk harus melakukannya dengan keadilan yang yang sempurna. Oleh karena itu, setiap pemimpin harus menunaikan hak orang-orang yang dipimpinnya, sama saja apakah dia seorang al-imam al-‘kubrâ, qadhi, maupun wakil-wakil mereka.

Berlaku adil juga diperintahkan dikerjakan dalam memutuskan perkara di antara manusia, seperti firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (TQS al-Nisa’ [4]: 58). Keputusan yang adil itu hanya terjadi jika merujuk kepada hukum Allah SWT. Pasalnya, hanya hukum-Nyalah yang benar dan adil. Allah SWT berfirman: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Alquran, sebagai kalimat yang benar dan adil (TQS al-An’am [6]:

Kedua, al-ihsân. Jika dikaitkan dengan adil, al-ihsân lebih tinggi daripada adil. Jika adil memberikan apa yang diwajibkan dan mengambil apa yang menjadi haknya; maka ihsan memberikan lebih banyak dari apa yang diwajibkan dan mengambil lebih sedikit dari apa yang menjadi haknya. Dengan kata lain, ihsan merupakan tambahan dari adil. Oleh karena itu, adil itu wajib, sementara ihsan itu sunnah. Demikian penjelasan al-Raghib al-Asfahani.

Kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh Atha’ dan al-Zamakhsyari. Menurut Atha’ –sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr-- adil adalah semua perbuatan yang diwajibkan, baik perkara aqidah maupun syariah; menunaikan amanah, meninggalkan kezhaliman, dan memberikan hak. Sedangkan ihsan adalah semua perbuatan yang disunnahkan. Penjelasan senada juga disampaikan al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyah.

Ketiga, memberikan kepada dzî al-qurbâ. Artinya, memberikan hak yang diwajibkan Allah atas Anda yang disebabkan oleh al-qarâbah wa al-rahîm (kerabat). Demikian penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari. Menurut al-Alusi dan al-Jazairi, hak tersebut adalah shilah dan al-birr (menyambung hubungan dan berbuat kebajikan). Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga menjelaskannya sebagai: Memberikan apa yang dibutuhkan kepada kerabat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan (TQS al-Isra’ [17]: 26). Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi, tindakan ini sesungguhnya tecakup dalam adil atau ihsan yang diperintahkan

Secara lahir, kata dzî al-qurbâ ini mencakup seluruh al-aqârib (kerabat), baik dari jalur ayah maupun jalur ibu. Ini pula yang dimaksud dengan dzî al-arhâm, yang diperintahkan Rasulullah SAW untuk dihubungi (dilakukan silaturrahim). Ditegaskan al-Sa’di, perintah ayat ini mencakup seluruh kerabat, yang dekat maupun yang jauh. Akan tetapi, pihak yang paling dekat adalah yang paling berhak dengan kebaikan.

Perkara yang Dilarang

Setelah diperintahkan beberapa perkara, kemudian disebutkan beberapa perbuatan yang dilarang. Allah SWT berirman: wa yanhâ ‘an al-fahsyâi wa al-munkar wa al-baghy (dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan). Sebagaimana perintah, larangan dalam ayat ini juga disebutkan secara sharîh, yakni: nahâ (melarang). Ada tiga perkara yang dilarang oleh ayat ini.

Pertama, al-fahsyâ’. Menurut al-Qurthubi, al-fahsyâ’ atau al-fahisy adalah kullu qabîh min qawl aw fi’l (semua yang tercela, baik ucapan maupun perbuatan). Dalam Alquran, ada beberapa perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan fâhisyah, seperti zina (QS al-Isra’ [17]: 32) dan liwath (QS al-A’raf [7]: 80). Larangan perbuatan fahisy, baik tampak maupun yang tersembunyi juga ditegaskan dalam QS al-A’raf [7]: 33. Di samping itu, mencuri, minum khamr, tamak, dan perbuatan tercela lainnya, menurut al-Zuhaili, termasuk dalam cakupannya.

Kedua, al-munkar. Secara bahasa, al-munkar berarti sesuatu yang diingkari. Dalam konteks ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Qurthubi dan al-Syaukani al-munkar adalah segala yang diingkari oleh syara’ dengan melarangnya. Ini berlaku umum, mencakup semua kemaksiatan dan keburukan dalam berbagai jenisnya.

Ketiga, al-baghy. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, kata al-baghy pada asalnya bermakna mujâwazah al-qadr wa al-hadd ‘alâ kulli syay’ (melampaui dari ukuran dan batas pada segala sesuatu). Tindakan melampaui batas yang dimaksud ayat ini adalah yang tidak dibenarkan syara’ sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak (TQS al-Syura [42]: 42). Dalam konteks ayat ini, al-Qurthubi memaknainya al-kibr wa al-zhulm al-haqd wa al-ta’addî (sombong, zhalim, dendam, dan mnelanggar batas). Tidak jauh berbeda, Ibnu ‘Athiyyah memaknainya insyâ’ zhulm al-insân wa al-si’âyah (mengadakan kezhaliman dan ketidakadilan terhadap manusia).

Al-Zuhaili menjelaskan, sesungguhnya al-baghy dan al-fahsyâ’ termasuk dalam cakupan al-munkar. Penyebutan keduanya secara khusus untuk menekankan besarnya bahayanya. Menurut al-Syaukani, al-baghy termasuk perbuatan dosa yang akan kembali kepada pelakunya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: Innamâ baghyukum ‘alâ anfusikum (sesungguhnya [bencana] kedzalimanmu akan menimpa dirimu sendiri, QS Yunus [10]: 23).

Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: ya’izhukum la’allakum tadzakkarûn (Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran). Bahwa perintah dan larangan yang disebutkan dalam ayat ini adalah nasihat yan baik bagi manusia. Sudah semestinya manusia menjadikannya sebagai pelajaran hidup. Semua perintah-Nya dikerjakan; dan sebaliknya semua laranga-Nya ditinggalkan. .

Demikianlah nasihat yang diberikan Rabb al-‘alâmîn kepada manusia. Siapa pun yang ingin memperoleh kebahagiaan di dunia akhirat, tidak ada pilihan kecuali mematuhinya. Bukan hanya dalam kehidupan privat, namun juga dalam kehidupan publik; masyarakat dan negara. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

  1. Perkara yang diperintahkan berbuat adil, ihsan, dan memberi kaum kerabat
  2. Perkara yang dilarang adalah perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan
  3. Nasihat syara’ harus dijadikan sebagai pelajaran hidup.

Related

tsaqofahislam 9095594370836004313

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us


item
Wordpress